Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Tentang Ijaroh / Ijarah

Makalah Tentang Ijaroh / Ijarah

Untuk memenuhi tugas Studi Hukum Islam

Dosen Pengampu:Drs. Muhammad Ismail M.Ag

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM 

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

TAHUN 2018

 

 BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah. 

Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.

Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibahas dalam makalah ini. Yang mana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. 

Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
  2. Apayang menjadi dasar hukum ijarah?
  3. Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
  4. Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?
  5. Bagaimana Pandangan Ulama tentang ijarah ?

C.   Tujuan Penulis

  1. Mengetahui pengertian Ijarah
  2. Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
  3. Mengetahui rukun dan syarat Ijarah
  4. Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
  5. Mengetahui pandangan ulama tentang Ijarah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah

Menurut etimologi, ijarah adalah Badingul “manfaat” (menjual manfaat). Pengertian Ijarah adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah atau pengertian ijaroh menurut pendapat beberapa ulama fiqih:

1.  Ulama Hanafiyah:

Artinya:

“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”

2. Ulama Asy-Syafi’iyah:

 


Artinya:

“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”

3.  Ulama Malikiyah dan Hanabilah:

makalah ijaroh
 Artinya:

“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”

Ada yang menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari  barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.

Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.

B.   Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah

Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam.Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang (tidak ada).Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.

Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan (adat). Dan mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi.

Landasan ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:

a.  Al-Qur’an

makalah ijaroh

 

Artinya:

Jika mereka menyusukan  (anak-anakmu)untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

b.  As-Sunnah

makalah tentang ijarah

 

 Artinya:

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)

c. Ijma’

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

C. Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut.

1.  Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adlah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf  (mengendalikan harta), dan saling meridhai. 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (Al-Nisa:29). 

Bagi orang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurnah sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

2.      Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir , ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00”, maka musta’jir menjawab “ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan.”

3. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalan upah-mengupah.

4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.

a. Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.

b. Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).

c. Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan)

d. Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

D. Sifat Ijarah 

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.

Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal).Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalakn akad ijarah.

E. Hukum Ijarah

Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

Adapun hukum ijarah rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.

Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah  fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan. 

F.  Macam-Macam Ijarah

Ijarah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.

b. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain.Ijarah ini ada yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang jahit dan lain-lain.Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.


G. Berakhirnya Akad ijarah

Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:

a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.

b. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

c. Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.

d. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad  ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan  dilanda  banjir.

BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Dari penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat penulis simpulkan bahwa:

a. Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.

b. Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.

B. Kritik dan saran

Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak perna luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat megharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya media Pratama, 2000

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002