Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit

Contoh proposal skripsi tentang Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi Ditinjau Dari PERSPEKTIF Hukum Perdata. Contoh proposal skripsi ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah metodologi penelitian. Semoga contoh proposal skripsi ini bisa bermanfaat bagi anda.


 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan “Kesehatan bukanlah segala galanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak berarti”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa kesehatan menjadi hal pertama yang sangat dibutuhkan oleh semua orang, kesehatan adalah pondasi setiap orang dalam melakukan segalanya. Jika badan sehat, maka manusia dapat melakukan kegiatannya, namun jika badannya tidak sehat maka segalanya bisa kurang bahkan tidak berfungsi. Untuk itulah manusia senantiasa ingin mencapai hidup yang sehat.

Baca Juga : Cara membuat kopi Herbal Biji Salak

Kesehatan yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya dilihat dari segi kesehatan fisik semata. Kesehatan seseorang dapat bersifat menyeluruh, yaitu jasmani dan rohani. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan seseorang sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 Alinea IV yang pada intinya untuk memajukan kesejahteraan umum yang meliputi pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut dipertegas pada Pasal 1 Undang undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut UU Kesehatan

“ Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”

Pelayanan kesehatan ini melibatkan beberapa pihak yang menimbulkan hubungan hukum, yaitu antara pihak rumah sakit seperti dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya dengan pihak pasien. Hubungan hukum yang terjadi yaitu perjanjian atau transaksi terapeutik. 

Perjanjian atau transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak

Transaksi terapeutik merupakan perjanjian dengan obyeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan terhadap penyakit yang tidak dilarang undang-undang.

Menurut Anny Isfandyarie, “Perjanjian atau transaksi terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis atau perjanjian upaya” . Karena dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang selanjutnya disebut Permenkes No 290 Tahun 2008, disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) maka dokter harus mendapat persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat sebelum melakukan tindakan kedokteran terhadap pasien setelah mendapat penjelasan yang lengkap mengenai tindakan kedokteran/kedokteran gigi. Oleh karena itu, sebelum upaya penyembuhan dilakukan diperlukan adanya persetujuan pasien yang dikenal sebagai informed consent.

Pengertian informed consent sering dicampur adukkan dengan pengertian transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Di dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUH Perdata dinyatakan bahwa syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

  1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toestemmig van degenen die zich verbinden),
  2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan),
  3. Mengenai suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp),
  4. Suatu sebab yang diperbolehkan ( eene geoorloofde oorzaak)

Unsur pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena menyangkut orang atau subjeknya, sedangkan unsur yang ketiga dan keempat disebut unsur objektif karena menyangkut objek yang diperjanjikan. Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada.

Transaksi terapeutik merupakan perjanjian (kontrak) sebagaimana dimaksudkan dalam pasal tersebut di atas. Sedangkan informed consent merupakan toestemmig (kesepakatan/persetujuan). 

Dengan demikian, Veronika Komalawati menyatakan bahwa yang dimaksud dengan informed consent adalah: suatu kesepakatan/persetujuan atau penolakan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk segala resiko yang mungkin terjadi .

Pasien yang berkepentingan untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, maka informed consent dalam transaksi terapeutik merupakan hak pasien sebelum ia menjalani suatu upaya medis yang dilakukan dokter untuk menolong dirinya . Pasien berhak untuk menyetujui atau menolak tindakan kedokteran yang akan dilakukan dokter setelah mendapatkan informasi yang jelas mengenai penyakitnya.

Perjanjian atau transaksi terapeutik bisa dinyatakan tidak sah apabila terdapat unsur kekhilafan, paksaan dan kekeliruan. “Paksaan ini bisa berupa paksaan phisik dan psychis, baik paksaan yang relatif dan paksaan absolud ”. Paksaan absolud artinya pihak yang dipaksa tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak atau memilih antara melaksanakan paksaan, karena kondisinya yang tidak memungkinkan, sedangkan paksaan relatif pihak yang dipaksa masih memungkinkan untuk menghindar atau memilih dari beberapa alternatif.

Informed consent menjadi syarat mutlak pelaksanaan transaksi terapeutik. Kalau ternyata pasien menolak apa yang akan dilakukan dokter, bisa dikatakan belum terjadi perjanjian, sehingga tindakan medis belum bisa dilaksanakan. Maka tindakan kedokteran yang dilakukan seorang dokter tanpa persetujuan pasien maupun keluarga pasien dianggap menyalahi undang-undang. Namun adakalanya informed consent tersebut tidak diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis, yaitu pada pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri dan pasien dengan kondisi penyakit menular.

Dokter berkewajiban untuk memberikan informasi atau penjelasan mengenai penanganan yang akan dilakukan. Dalam Permenkes No.290 Tahun 2008 Pasal 7 ayat (3), disebutkan penjelasan tersebut sekurang-kurangnya memuat :

  1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran,
  2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan,
  3. Alternatif tindakan lain dan resikonya,
  4. Resiko dan komplikasi yang mungkin akan terjadi
  5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
  6. Perkiraan pembiayaan

Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi merupakan rumah sakit umum Kotamadya Jambi yang ikut berperan dalam terciptanya informed consent atau persetujuan tindak kedokteran antara pihak dokter dan pasiennya. Untuk terjaminnya pelaksanaan transaksi terapeutik yang sesuai dengan yang direncanakan, maka terlebih dahulu dibuat perjanjian persetujuan tindakan kedokteran yang tertuang dalam informed consent antara dokter dan pasien atau keluarga pasien di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan pada Februari 2012, pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam prakteknya mendapat kendala. Seorang pasien yang bernama Ny. FH (33 tahun), didiagnosis dokter spesialis kandungan menderita Endrometriosis (kista) di rahimnya, kemudian atas saran dokter yang bersangkutan, pasien tersebut menyetujui operasi pengangkatan Endrometriosis sebab dokter menyatakan semakin cepat dilakukan operasi, semakin bagus agar Endrometriosis tidak semakin membesar. Maka dibuatkanlah informed consent yang ditandatangai pasien sendiri dan disaksikan keluarga yang menyatakan pasien bersedia dilakukan operasi pengangatan Endrometriosis pada tubuhnya.

Masalah muncul ketika prosedur operasi tengah berlangsung, dokter tersebut menutup luka bekas operasi dan menyatakan kepada pasien setelah sadar bahwa ternyata bukan Endrometriosis, melainkan Miom (tumor) dan operasi Miom merupakan wewenang dari dokter spesialis bedah .

Pasien mengomplain bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan kepadanya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Pihak rumah sakit dianggap telah melakukan wanprestasi karena apa yang diperjanjiakan dalam informed consent tidak sesuai dengan tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien.

Peristiwa lain juga terjadi pada pasien lain, Ny.H (47 tahun). Awal tahun 2011, beliau merasakan ada benjolan di kiri dan kanan leher sebesar telur puyuh. Ny. H lalu menceritakan keluhannya pada seorang teman yang adalah perawat sebuah rumah sakit swasta. Oleh perawat tersebut disarankan untuk konsultasi lebih lanjut ke dokter spesialis bedah. Ny. H lalu konsultasi pada dokter spesialis beda khusus kanker (onkolog) di rumah sakit tersebut dan Ny. H didiagnosis menderita Carsinoma Nasofaring (kanker ganas pada Nasofaring, yaitu daerah sekitar mulut bagian belakang) dan harus segera dilakukan operasi pengangkatan untuk dapat diperiksa lebih lanjut.

Setelah diberikan penjelasan mengenai penyakit dan prosedural tindakan medis yang akan dilakukan, Ny. H dan keluarga memberi persetujuan untuk dilakukan operasi .

Maka, operasi pengangkatan Carsinoma Nasofaring tersebut dilakukan sekitar pertengahan April tahun 2011. setelah operasi dilakukan, beliau merasa keadaannya baik-baik saja. Namun, dua bulan pasca operasi, nyeri pada bekas operasi dirasakan lagi oleh beliau bahkan lebih sakit dari pada sebelum operasi dilakukan. Ny. H dan keluarga lalu memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di sebuah rumah sakit di Malaysia. Oleh dokter spesialis bedah di rumah sakit tersebut menyayangkan tindakan operasi yang dilakukan dokter sebelumnya. Carsin oma Nasofaring pada beliau sebenarnya masih bisa dicegah dengan pemberian terapi untuk menghambat sel-sel kanker yang baru, sehingga operasi dapat dijadikan alternatif terakhir .

Atas penjelasan dokter yang berada di Malaysia, keluarga Ny. H menggugat dokter dan pihak rumah sakit atas tuduhan pelanggaran hukum dan meminta penjelasan mengenai tindakan medis yang dilakukan padanya. Pasien mengklaim bahwa pelayanan yang didapat dari Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi tersebut mengecewakan karena tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Dari uraian tersebut di atas, merupakan alasan yang mendorong penulis untuk menguraikan dan menganalisis pelaksanaan informed consent dan menuangkannya dalam sebuah skripsi “Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi Ditinjau Dari PERSPEKTIF Hukum Perdata”.

B. Rumusan Masalah

Dengan didasari oleh alasan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana pelaksanaan Informed Consent dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien di RS. H. Abdul Manap Kota Jambi?
  2. Bagaimana penyelesaian yang dilakukan pihak R.S H. Abdul Manap Kota Jambi bila terjadi wanprestasi terhadap pasien?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian adalah :

  • Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan informed consent dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien di RS. H. Abdul Manap Kota Jambi
  • Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian yang dilakukan pihak RS. H. Abdul Manap Kota Jambi bila terjadi wanprestasi terhadap pasien.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Secara teoritis

Memberikan informasi dan pengetahuan kepada dokter dan pelayan rumah sakit lainnya mengenai pentingnya informed consent dalam transaksi terapeutik dan penyelesaian yang lakukan pihak R.S H. Abdul Manap Kota Jambi bila terjadi wanprestasi terhadap pasien.

b. Secara Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kalangan ilmiah dan masyarakat pada umumnya mengenai pelaksanaan informed consent dalam transaksi terapeutik serta mengetahui bagaimana penyelesaian bila terjadi wanprestasi dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.

D. Kerangka Konseptual

Sebelum masuk pada pembahasan secara terperinci tentang permasalahan dalam penulisan ini, terlebih dahulu penulis mencoba memberi pengertian yang kiranya perlu dalam judul skripsi ini, antara lain yaitu :

a. Informed consent

Terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan informed consent dan bagaimana cara memperoleh informed consent tersebut. Menurut Permenkes No. 290 Tahun 2008, tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif terhadap pasien..

Menurut Guwandi, pernyataan Hakim Cordozo seperti yang telah dikutip penulis di atas, menjadi dasar dogma informed consent. Guwandi menerjemahkan pernyataan Cordozo sebagai berikut : “Setiap manusia dewasa yang berpikiran sehat berhak untuk mendapatkan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri” .

Pengertian Informed Consent juga disampaikan oleh Veronika Komalawati, sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan Informed Consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi .

b. Transaksi Terapeutik

Bahder Johan Nasution mengemukakan pengertian transaksi terapeutik adalah “perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak” . Dimana objek yang diperjanjikan berbeda dengan perjanjian yang lainnya, yaitu upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah untuk menentukan atau mencari terapi yang tepat bagi pesien yang dilakukan dokter.

Selaras dengan pendapat Bahder, M Jusuf Hanafiah mengatakan bahwa transaksi terapeutik merupakan persetujuan antara dokter dan pasien yang bukan hanya pencakup bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitas maupun promotif .

c. Perspektif Hukum Perdata

Persepektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kemudian disingkat KBBI memiliki pengertian sudut pandang, pandangan. Perspektif berasal dari Bahasa Latin yakni pre yang artinya melalui dan spectare yang artinya memandang. Maka perspektif berarti media yang dimiliki oleh seseorang atau sesuatu dalam memandang suatu objek tertentu

Sedangkan hukum perdata ialah “hukum yang mengatur hubungan perseorangan atau badan hukum yang satu dengan perseorangan lain, mapun badan hukum yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan” . Hukum Perdata mengatur dan menentukan agar dalam pergaulan hidup masyarakat saling mengetahui dan menghormati hak dan kewajiban masing-masing.

Sehingga pada akhirnya, penulis menyimpulkan dalam judul skripsi ini bahwa transaksi atau perjanjian antara dokter dan pasien dipandang sebagai peristiwa hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dengan informed consent sebagai kesepakatan dalam transaksi tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.

2. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan adalah empiris yaitu penelitian lapangan, suatu pendekatan yang secara langsung penulis lakukan untuk menganalisis pelaksanaan Informed Consent dalam transaksi terapeutik dan bagaimana penyelesaian yang dilakukan pihak rumah RS.H. Abdul Manap Kota Jambi bila terjadi wanprestasi terhadap pasien.

3. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka hasil penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan pelaksanaan Informed Consent dalam transaksi terapeutik dan bagaimana penyelesaian yang dilakukan pihak rumah RS.H. Abdul Manap Kota Jambi bila terjadi wanprestasi terhadap pasien.

4. Teknik Penarikan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan informed consent dalam transaksi terapeutik di RS H. Abdul Manap Kota Jambi dan pasien. 

Adapun teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yang kriteria responden adalah pasien yang dibuatkan informed consent dan mengalami wanprestasi dari pihak rumah sakit. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan sebagai sampel adalah yaitu pihak pasien di RS H. Abdul Manap Kota Jambi yang mengalami wanprestasi.

5. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Lapangan

merupakan data yang penulis peroleh dari kenyataan-kenyataan yang berlaku dan diperoleh dalam praktik di lapangan. Data tersebut penulis peroleh melalui:

  • a) Wawancara

yaitu cara memproleh informasi dengan bertanya langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwewenang, mengetahui, dan terkait dalam pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan medik dalam transaksi terapeutik dan pasien yang menandatangani informed consent di RS H.Abdul Manap Kota Jambi dan penyelesaian yang dilakukan RS.H.Abdul Manap Kota Jambi bila wanprestasi.

  • b) Studi Dokumen

yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas dokumen dari segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan informed consent dan transaksi terapeutik.

6. Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif , yaitu data yang diperoleh dari peraturan-peraturan, literatur-literatur yang ada hubungannya dengan informed consent dan dipadukan dengan pendapat partisipan, kemudian dicari pemecahannya untuk selanjutnya ditarik kesimpulannya.